Sofia The First Bahasa Indonesia Nonton Dimana

Sofia The First Bahasa Indonesia Nonton Dimana

Hagia Sofia (bahasa Yunani: Ἁγία Σοφία [aˈʝia soˈfia]; bahasa Turki: Ayasofya; bahasa Latin: Sancta Sapientia; "Kebijaksanaan Suci") adalah sebuah tempat ibadah di Istanbul, Republik Turki. Dari masa pembangunannya pada tahun 537 M sampai 1453 M, bangunan ini merupakan Katedral Ortodoks dan tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopel,[1] kecuali pada tahun 1204 sampai 1261, ketika tempat ini diubah oleh Pasukan Salib Keempat menjadi Katedral Katolik Roma di bawah kekuasaan Kekaisaran Latin Konstantinopel. Bangunan ini menjadi masjid mulai 29 Mei 1453 sampai 1931 pada masa kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah. Kemudian bangunan ini disekulerkan dan dibuka sebagai museum pada 1 Februari 1935 oleh Republik Turki.[2] Kemudian menjadi masjid kembali pada Jumat, 10 Juli 2020 setelah pengadilan Turki memutuskan bahwa konversi Hagia Sofia pada tahun 1934 menjadi museum adalah ilegal. Keputusan ini membuka jalan untuk kembali mengubah monumen tersebut menjadi masjid.[3] Terkenal akan kubah besarnya, Hagia Sofia dipandang sebagai lambang arsitektur Bizantium[4] dan dikatakan "telah mengubah sejarah arsitektur."[5] Bangunan ini tetap menjadi katedral terbesar di dunia selama hampir seribu tahun sampai Katedral Sevilla selesai dibangun pada tahun 1520.

Bangunan yang sekarang ini awalnya dibangun sebagai sebuah gereja antara tahun 532-537 atas perintah Kaisar Romawi Timur Yustinianus I dan merupakan Gereja Kebijaksanaan Suci ketiga yang dibangun di tanah yang sama, dua bangunan sebelumnya telah hancur karena kerusuhan. Bangunan ini didesain oleh ahli ukur Yunani, Isidoros dari Miletos dan Anthemios dari Tralleis.[6]

Gereja ini dipersembahkan kepada Kebijaksanaan Tuhan, sang Logos, pribadi kedua dari Trinitas Suci,[7] pesta peringatannya diadakan setiap 25 Desember untuk memperingati kelahiran dari inkarnasi Logos dalam diri Kristus.[7] Walaupun sesekali disebut sebagai Sancta Sophia (seolah dinamai dari Santa Sofia), sophia sebenarnya pelafalan fonetis Latin dari kata Yunani untuk kebijaksanaan. Nama lengkapnya dalam bahasa Yunani adalah Ναὸς τῆς Ἁγίας τοῦ Θεοῦ Σοφίας, Naos tēs Hagias tou Theou Sophias, "Tempat Peziarahan Kebijaksanaan Suci Tuhan".[8][9]

Pada tahun 1453 M, Konstantinopel ditaklukkan oleh Utsmaniyah di bawah kepemimpinan Sultan Mehmed II, yang kemudian memerintahkan pengubahan gereja utama Kristen Ortodoks menjadi masjid. Dikenal sebagai Ayasofya dalam ejaan Turki, bangunan yang berada dalam keadaan rusak ini memberi kesan kuat pada penguasa Utsmaniyah dan memutuskan untuk mengubahnya menjadi masjid.[10][11] Berbagai lambang Kristen seperti lonceng, gambar, dan mosaik yang menggambarkan Yesus, Maria, orang-orang suci Kristen, dan para malaikat ditutup dengan kain hitam. Berbagai atribut Keislaman seperti mihrab, minbar, dan empat menara, ditambahkan. Hagia Sofia tetap bertahan sebagai masjid sampai tahun 1931 M. Kemudian bangunan ini ditutup bagi umum oleh pemerintah Republik Turki dan dibuka kembali sebagai museum empat tahun setelahnya pada 1935. Pada tahun 2014, Hagia Sofia menjadi museum kedua di Turki yang paling banyak dikunjungi, menarik hampir 3,3 juta wisatawan per tahun.[12] Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Turki, Hagia Sofia merupakan tempat di Turki yang paling menarik perhatian wisatawan pada 2015.[13]

Dari pengubahan awal bangunan ini menjadi masjid sampai pembangunan Masjid Sultan Ahmed (juga dikenal dengan Masjid Biru) pada 1616, Hagia Sofia merupakan masjid utama di Istanbul. Arsitektur Bizantium pada Hagia Sofia mengilhami banyak masjid Utsmaniyah, seperti Masjid Biru, Masjid Şehzade (Masjid Pangeran), Masjid Süleymaniye, Masjid Rüstem Pasha, dan Masjid Kılıç Ali Pasha.

Gereja pertama yang dibangun pada tanah tersebut dikenal sebagai Μεγάλη Ἐκκλησία (Megálē Ekklēsíā, "Gereja Agung"), atau dalam bahasa Latin "Magna Ecclesia",[14][15] dikarenakan ukurannya yang sangat besar bila dibandingkan dengan gereja pada saat itu di kota Konstantinopel.[7] Gereja ini diresmikan pada 15 Februari 360 pada masa pemerintahan Kaisar Konstantius II oleh Uskup Arian, Eudoxius dari Antiokia,[16] didirikan di sebelah tempat istana kekaisaran dibangun. Gereja Hagia Eirene (secara harfiah bermakna "Kedamaian Suci") di dekatnya telah diselesaikan terlebih dahulu sebelum Gereja Agung selesai. Kedua gereja ini berperan sebagai gereja utama dari Kekaisaran Romawi Timur.

Menulis pada 440, Sokrates dari Konstantinopel mengklaim bahwa gereja ini dibangun oleh Konstantius II, yang mengerjakannya pada tahun 346.[16] Tradisi yang tidak lebih tua dari abad ke-7 melaporkan bahwa bangunan ini dibangun oleh Konstantinus Agung.[16] Zonaras mendamaikan kedua pendapat tersebut, menulis bahwa Konstantius telah memperbaiki bangunan yang telah dikuduskan oleh Eusebius dari Nikomedia ini, setelah keruntuhannya.[16] Karena Eusebius menjadi uskup Konstantinopel pada 339-341, dan Konstantinus meninggal pada 337, tampaknya mungkin saja bahwa gereja pertama ini didirikan oleh Konstantinus.[16] Bangunan ini dibangun sebagai sebuah basilika bertiang Latin tradisional dengan berbagai galeri dan atap kayu, didahului dengan sebuah atrium. Bangunan ini diklaim sebagai salah satu monumen yang paling menonjol di dunia pada saat itu.

Patriark Konstantinopel Yohanes Krisostomus terlibat perselisihan dengan Permaisuri Aelia Eudoxia, istri dari Kaisar Arcadius, dan diasingkan pada 20 Juni 404. Pada kerusuhan berikutnya, gereja pertama ini sebagian besar terbakar.[16] Tidak ada yang tersisa dari gereja pertama ini sekarang.

Gereja kedua diresmikan pada 10 Oktober 415 atas perintah Kaisar Theodosius II. Basilika ini memiliki atap kayu dan dibangun oleh arsitek bernama Rufinus. Pada masa Kerusuhan Nika, gereja ini terbakar pada 13–14 Januari 532.

Beberapa balok marmer dari gereja kedua ini selamat sampai sekarang, beberapa diantaranya adalah relief yang menggambarkan dua belas domba yang mewakili dua belas rasul. Awalnya bagian dari salah satu pintu depan monumental, balok-balok itu sekarang berada di lubang penggalian yang berdekatan dengan pintu masuk museum setelah penemuan pada tahun 1935 di bawah halaman sisi barat oleh A. M. Schneider. Penggalian berikutnya tidak dilanjutkan karena takut merusak keutuhan bangunan.

Sisa reruntuhan Hagia Sophia kedua

Pada 23 Februari 532, hanya beberapa pekan setelah hancurnya basilika kedua, Kaisar Yustinianus I memerintahkan pembangunan gereja ketiga dengan rancangan yang lebih luas dan megah dari sebelumnya.

Yustinianus memilih ahli fisika, Isidore dari Miletus dan ahli matematika Anthemius dari Tralles sebagai arsitek. Akan tetapi, Anthemius meninggal pada tahun pertama pembangunan. Pembangunan ini dijelaskan dalam Tentang Bangunan-bangunan (Peri ktismatōn, Latin: De aedificiis) dari sejarawan Bizantium bernama Procopius. Tiang-tiang dan marmer lain didatangkan dari segala penjuru kekaisaran, di seluruh Mediterania. Pendapat bahwa tiang-tiang ini merupakan rampasan dari kota-kota seperti Roma dan Efesus dikemukakan belakangan.[17] Meskipun tiang-tiang itu dibuat khusus untuk Hagia Sofia, namun ukurannya tampak bervariasi.[18] Lebih dari sepuluh ribu orang dipekerjakan. Gereja baru ini secara serentak diakui sebagai karya arsitektur besar. Teori-teori Heron dari Aleksandria mungkin telah digunakan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dalam membangun kubah luas yang membutuhkan ruang sedemikian besar.[butuh rujukan] Bersama dengan Patriark Menas, kaisar meresmikan basilika ini pada 27 Desember 537, lima tahun sepuluh bulan setelah pembangunan dimulai.[19][20][21] Sedangkan mosaik yang terdapat di dalam gereja baru selesai pada masa Kaisar Yustinus II yang memerintah pada tahun 565–578 M.

Hagia Sofia menjadi pusat kedudukan Patriark Ortodoks Konstantinopel dan tempat utama berbagai upacara Kekaisaran Romawi Timur, seperti penobatan kaisar. Seperti gereja-gereja lain di seluruh dunia Kristen, basilika ini memiliki tempat perlindungan dari penganiayaan bagi para pelanggar hukum.

Pada 726, Kaisar Leo III mengeluarkan serangkaian keputusan yang melarang masyarakat untuk memberikan penghormatan kepada gambar-gambar, memerintahkan tentara untuk menghancurkan semua ikon, sehingga mengantar pada periode ikonoklasme Bizantium. Pada masa itu, semua gambar dan patung keagamaan disingkirkan dari Hagia Sofia. Setelah gerakan ini dibendung pada masa Maharani Irene yang berkuasa pada tahun 797–802, ikonoklasme kembali merebak pada masa Kaisar Theophilos yang sangat dipengaruhi oleh seni rupa Islam,[22] yang melarang penggambaran makhluk hidup.[23] Theophilos membuat pintu-pintu perunggu bersayap dua, yang memperlihatkan monogramnya, di pintu masuk gereja bagian selatan.

Basilika ini mengalami kerusakan pertama kali dalam kebakaran besar tahun 859, dan kemudian saat gempa bumi pada 8 Januari 869, yang membuat sebagian kubahnya runtuh. Kaisar Basilius I memerintahkan agar gereja ini diperbaiki.

Pada masa pendudukan Konstantinopel pada Perang Salib Keempat, gereja ini dijarah dan dinodai oleh Tentara Salib, sebagaimana dijelaskan oleh sejarawan Bizantium Niketas Choniates. Pada masa pendudukan Latin di Konstantinopel (1204–1261), gereja ini berubah menjadi Katedral Katolik Roma. Baldwin I dimahkotai sebagai kaisar pada 16 Mei 1204 di Hagia Sofia, dengan upacara yang pelaksanaannya menggunakan adat Bizantium. Enrico Dandolo, Doge Republik Venesia yang memimpin pendudukan dan invasi terhadap Konstantinopel oleh Tentara Salib Latin pada 1204, dimakamkan di dalam gereja ini. Makam yang telah terukir namanya, yang menjadi bagian dari dekorasi lantai, diludahi oleh banyak masyarakat Romawi Timur yang merebut kembali Konstantinopel pada tahun 1261 M.[24][butuh sumber yang lebih baik] Akan tetapi, saat restorasi yang dipimpin oleh Fossati bersaudara sepanjang tahun 1847–1849, timbul keraguan terhadap keaslian makam doge tersebut; tampaknya lebih seperti sebuah peringatan simbolis daripada situs pemakaman.

Setelah direbut kembali pada 1261 oleh bangsa Bizantium, gereja ini dalam keadaan bobrok. Pada 1317, Kaisar Andronikus II memerintahkan agar empat penopang (Πυραμὶδας, bahasa Yunani:"Piramídas") baru dibangun di sisi timur dan utara gereja, pembiayaannya menggunakan warisan dari mendiang istrinya, Irene.[25] Kubah gereja mengalami keretakan setelah gempa bumi bulan Oktober 1344, dan beberapa bagian bangunan runtuh pada 19 Mei 1346; alhasil gereja ini ditutup sampai 1354 saat perbaikan dilakukan oleh arsitek-arsiteknya, Astras dan Peralta.

Konstantinopel ditaklukkan oleh Utsmani pada 29 Mei 1453. Banyak catatan yang merekam kejadian itu, walaupun beberapa ditulis sekian lama setelah peristiwa tersebut terjadi dan masing-masing menyatakan sebagai catatan yang mendekati aslinya. Baik Yunani, Italia, Slavia, Turki, dan Rusia, semuanya memiliki versi mereka masing-masing yang mungkin sulit untuk disatukan.[26] Salah satu versi cerita tersebut adalah yang ditulis sejarawan kontemporer Inggris bernama Steven Runciman yang dikenal karena bukunya yang berjudul A History of the Crusades.[27]

Setelah penaklukan, Hagia Sofia, disebut Aya Sofya dalam pelafalan Turki, diubah menjadi masjid kekaisaran. Meskipun demikian, keberadaan Gereja Kristen Ortodoks tetap diakui, sebagaimana dalam sistem millet Utsmani yang memberikan agama non-Islam kewenangan khusus dalam mengatur urusan masing-masing.[28] Gennadius Scholarius lantas ditetapkan sebagai Patriark Konstantinopel pertama pada masa Utsmani, kemudian menetapkan kedudukannya di Gereja Rasul Suci,[29] yang kemudian berpindah ke Gereja Pammakaristos.

Seperti dijelaskan oleh beberapa pengunjung dari Barat (misalnya bangsawan dari Kordoba bernama Pero Tafur[30] dan Cristoforo Buondelmonti dari Firenze),[31] gereja saat itu dalam keadaan bobrok, dengan beberapa pintu telah terlepas dari engselnya. Mehmed II memerintahkan perbaikan dan pengubahannya menjadi masjid. Mehmed menghadiri ibadah Jumat yang pertama kalinya di masjid pada 1 Juni 1453.[32] Hagia Sofia menjadi masjid kekaisaran pertama di Istanbul.[33] Pada wakaf yang bersangkutan dianugerahkan sebagian besar rumah yang saat ini berdiri di kota tersebut dan daerah yang kelak menjadi Istana Topkapı.[25] Sejak tahun 1478, sebanyak 2.360 toko, 1.360 rumah, 4 karavanserai, 30 toko boza, dan 23 toko domba memberikan penghasilan mereka untuk yayasan tersebut.[34] Melalui piagam kekaisaran tahun 1520 (926 H) dan 1547 (954 H), berbagai toko dan bagian dari Grand Bazaar dan pasar-pasar lain, juga ditambahkan ke dalamnya.[25]

Sebelum 1481, sebuah menara kecil telah didirikan di sudut barat daya bangunan di atas menara tangga.[25] Kemudian Sultan Bayezid II (1481–1512), membangun menara lain di sudut timur laut.[25] Salah satu dari menara itu runtuh setelah gempa bumi pada tahun 1509,[25] dan sekitar pertengahan abad keenam belas keduanya diganti dengan dua menara yang dibangun di sudut timur dan barat bangunan.[25]

Pada abad keenam belas, Sultan Suleiman Al Kanuni membawa dua batang lilin kuno dari penaklukannya atas Hungaria dan ditempatkan mengapit mihrab. Pada masa Selim II, dikarenakan mulai menunjukkan tanda-tanda kerapuhan, Aya Sofya diperkuat dengan dukungan struktural untuk bagian luar. Proyek ini dikepalai arsitek Utsmani saat itu, Mimar Sinan, yang juga dikenal sebagai salah satu insinyur gempa pertama di dunia.[35] Untuk memperkuat struktur bersejarah Bizantium ini, Sinan membangun dua menara besar di barat yang awalnya ruang khusus sultan, dan türbe (bangunan untuk makam di Turki) untuk makam Selim II di tenggara bangunan pada 1576-7 M / 984 H.[25] Selain itu, lambang bulan sabit emas dipasang di atas kubah.[25] Kemudian, makam ini juga menjadi makam bagi 43 pangeran Utsmani.[25] Pada 1594 M / 1004 H Mimar (kepala arsitek) Davud Ağa membangun makam Murad III (1574–1595), tempat sultan dan permaisurinya, Safiye Sultan, putra, dan putri mereka dikebumikan.[25] Bangunan makam persegi delapan putra mereka Mehmed III (1595–1603) dibangun arsitek kekaisaran Dalgiç Mehmet Aĝa pada 1608 / 1017 H. Di bangunan ini, dimakamkan pula Handan Sultan, selir Mehmed III yang menjadi ibu suri bagi putra mereka Ahmed I. Dimakamkan pula putra dan putri Ahmed I, putri dari Murad III, dan putra sultan lainnya.[36] Putranya yang lain, Mustafa I (1617–1618; 1622–1623), mengubah bekas ruang untuk pembaptisan menjadi türbe-nya.[36]

Murad III juga membawa dua guci besar Helenistik dari batu pualam dari Pergamum dan menempatkannya di dalam kedua sisi tengah bangunan.[25]

Pada 1717, di bawah kepemimpinan Sultan Ahmed III (1703–1730), plester yang runtuh dalam interior bangunan direnovasi, secara tidak langsung berperan dalam kelestarian banyak mosaik, yang jika tidak dilakukan maka akan dihancurkan oleh para pekerja bangunan.[36] Karena kenyataannya adalah hal biasa bagi mereka untuk menjual batu-batu mosaik –yang dipercaya sebagai azimat– kepada para pengunjung.[36] Sultan Mahmud I memerintahkan perbaikan Aya Sofya pada 1739 dan menambahkan sebuah madrasah, imaret atau dapur umum untuk kaum miskin, dan perpustakaan. Pada tahun 1740, pondok sultan (sultan mahfili) dan mihrab baru ditambahkan di dalam bangunan.

Kesultanan Utsmani runtuh pada November 1922 M dan digantikan oleh Republik Sekuler Turki. Presiden pertamanya, Mustafa Kemal Atatürk memerintahkan penutupan Aya Sofya pada 1931 M untuk umum, dan dibuka empat tahun setelahnya pada 1935 M sebagai museum. Karpet untuk ibadah shalat dihilangkan, plester dan cat-cat kaligrafi dikelupas, menampakkan kembali lukisan-lukisan Kristen yang tertutupi selama lima abad. Sejak saat itu, Aya Sofya dijadikan salah satu objek wisata terkenal oleh pemerintah Turki di Istambul.

Penggunaan Aya Sofya sebagai tempat ibadah dilarang keras oleh pemerintah Turki yang berhaluan sekuler.[37] Namun demikian, perintah itu melunak ketika pada 2006, pemerintah Turki mengizinkan alokasi khusus untuk sebuah ruangan doa Kristen dan museum Muslim staf dan sejak tahun 2013,[38] muazin mengumandangkan adzan dari menara museum dua kali saat siang hari.[39]

Pada masa belakangan, wacana mengembalikan Aya Sofya menjadi tempat ibadah semakin ramai diperbincangkan. Pada tahun 2007, politikus Yunani, Chris Spirou mencanangkan gerakan internasional untuk memperjuangkan Aya Sofya kembali menjadi Gereja Ortodoks Yunani.[40][41][42] Di sisi lain, beberapa seruan dari beberapa pejabat tinggi, khususnya Wakil Perdana Menteri Turki, Bülent Arınç, menuntut Aya Sofya untuk digunakan kembali sebagai masjid pada November 2013.[43][44][45]

Pada bulan Ramadhan 1437 H / 2016, pemerintah Turki memulihkan beberapa fungsi Aya Sofya sebagai masjid kembali selama bulan Ramadhan. Ayat dari kitab suci Al Quran akan dibacakan di Aya Sofya setiap harinya pada bulan suci Ramadhan. Pembacaan dimulai sejak awal Ramadhan dan juga disiarkan secara langsung di saluran religi Turki TRT Diyanet, Selasa (07/06/2016). Hari Senin, pemerintah Turki mulai menyiarkan pembacaan Al Quran dan makan sahur, pada televisi nasional langsung dari Aya Sofya, yang sebelumnya difungsikan sebagai museum sejak sekularisasi Turki oleh Atatürk.

Langkah ini menuai kecaman dari beberapa pihak. Dalam pernyataan bersama, para pemimpin partai oposisi Yunani mengatakan bahwa langkah Ankara adalah tindakan provokatif. ”Menunjukkan rasa tidak hormat terhadap orang Kristen Ortodoks di seluruh dunia dan tidak sejalan dengan program Eropa-Turki,” bunyi pernyataan bersama itu, seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (8/6/2016).[46]

Pada salah satu kampanye Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan menjanjikan untuk mengembalikan fungsi Aya Sofia sebagai masjid, sesuai dengan usulan dan keinginan rakyat Turki (27/03/2019).[47][48][49] Mengenai kecaman dan protes dari berbagai pihak atas perubahan fungsi Aya Sofia, Presiden Erdoğan membandingkan peristiwa yang terjadi tidak lama sebelumnya, yaitu serangan yang menargetkan Masjid Al-Aqsha di Yerussalem dan pihak lain hanya diam, begitu pula jika Aya Sofia menjadi masjid seharusnya pihak lain cukup diam, tidak perlu melayangkan protes dan kecaman.

Pada Bulan Juni 2020, beberapa Uskup Katolik di Turki dan tokoh-tokoh Katolik Roma menyatakan dukungan secara tidak langsung terhadap keputusan pemerintah Turki atas status Aya Sofia. Menurut mereka, Permerintah Turki memiliki kedaulatan untuk menentukan eksistensi dan status Aya Sofia. Sedangkan Patriarki Armenia mendukung keputusan pemerintah disertai dengan harapan agar selain dialih-fungsikan sebagai masjid, pada bagian tertentu di Aya Sofia diberikan ruangan untuk tempat beribadah umat Kristen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan pesan perdamaian, toleransi, dan hubungan yang lebih erat antara Islam dan Kristen.[50]

Akhirnya pada tanggal 10 Juli 2020, Pengadilan tinggi Turki membatalkan keputusan 1943 yang mengubah status Aya Sofia menjadi museum. Seiring dengan keputusan tersebut, pada tanggal yang sama Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan mengeluarkan dekrit yang berisi "Hagia Sofia kembali ke fungsinya semula sebagai tempat ibadah umat Islam. Ibadah pertama bisa dilakukan mulai 24 Juli mendatang."[51][52][53][54] Meskipun telah beralih-fungsi sebagai masjid, Aya Sofia tetap terbuka untuk umum yang ingin berkunjung ke Aya Sofia.

Di dalam Hagia Sofia terdapat surat-surat dari sultan Utsmaniyah yang berfungsi untuk menjamin, melindungi, dan memakmurkan warganya ataupun orang asing pembawa suaka. Terdapat sekitar 10.000 sampel surat yang ditujukan maupun yang dikeluarkan oleh sultan.

On Tuesday, June 27, 2023, the African Union held a quadripartite summit with the East African Community (EAC), the Economic Community of Central African States (ECCAS), the International Conference on the Great Lakes Region (ICGLR) and the Southern African Development Community (SADC) in Luanda, Republic of Angola.

In a press release made public, some decisions were taken by the participants, among others: taking note of the report of the Ministers of the quadripartite on the coordination and harmonization of regional initiatives for the restoration of peace and security in the Eastern Democratic Republic of Congo. They also agreed to respect the progress made so far in the political, military, humanitarian and socio-economic fields by the various parties concerned in order to meet the challenges. They were then congratulated H.E. Félix Tshisekedi, President of the Democratic Republic of Congo and H.E. Paul Kagame, President of the Republic of Rwanda, for their commitments to the peaceful resolution of the conflict through dialogue and mediation under the facilitation of H.E. João Manuel Goncalves Lourenco.

This announcement goes on by saying that the summit participants also took note of the progress made by the EAC and welcomed the efforts deployed by H.E. Évariste Ndayishimiye, President of the Republic of Burundi and Chairman of the security, peace and cooperation framework for DRC and the region and H.E. Uhuru Kenyatta, former President of the Republic of Kenya and Facilitator of the Nairobi process, and commended the EAC Regional Force for the restoration of peace and stability in Eastern DRC. They then welcomed ECCAS’s commitment to cooperate fully with other regional organizations on political, diplomatic and security initiatives with a view to pacification. They further commended the efforts of the EAC, ECCAS, ICGLR and SADC which recognized the need of an harmonized and coordinated approach under the guidance of the African Union to fight for the security of the Great Lakes region and encouraged them to further strengthening their cooperation and intensifying their efforts in the area of ​​collective security.

Summit participants commended SADC, in particular, for its initiative calling for the harmonization and increased coordination of all political and diplomatic initiatives and efforts towards peace and security in the East of the DRC. They also welcomed the progress made in the preparation of pre-cantonment and cantonment sites for the disarmament of the M23, and exposed the need of continuing the implementation of the disarmament, demobilization, reintegration and community stabilization (DDRC-S) program for ex-combatants. They further adopted the “Joint framework of the East African Community (EAC), the Economic Community of Central African States (ECCAS-S), the International Conference on the Great Lakes Region (ICGLR ), the Southern African Development Community (SADC) and the United Nations (UN) for the coordination and harmonization of peace initiatives in eastern Democratic Republic of Congo (DRC) under the auspices of AU”, which aims to promote coherence of existing quadripartite peace initiatives in accordance with relevant decisions and instruments, the statement continue.

Summit participants endorsed the establishment of a “Multilevel coordination working group” composed by the representatives of the DRC and Rwanda, the AU, the Presidents of the EAC, the ICGLR, the SADC and ECCAS, as well as the UN, with particular emphasis on the political, diplomatic, military, humanitarian and socio-economic dimensions, in order to facilitate the continuous exchange of information to promote coherence, as shown by the press release. This Quadripartite Summit also called on quadripartite members to fully implement the joint coordination and harmonization framework and report to the AU Peace and Security Council on a quarterly basis, as well as to other statutory meetings of the AU. He reiterated the previous decisions, mechanisms and peace initiatives of the concerned RECs/RMs on the situation in eastern DRC as the basis for the joint framework and chowed the need for a coordinated and concerted approach to ensure its effective implementation.

According to the same announcement, the summit participants further requested the AU Commission to convene a meeting of the Heads of Member States of the quadripartite in order to coordinate the existing and planned deployments in the East of the DRC. This summit underscored the critical importance of timely exchange and consultation between the African Union Commission, the United Nations and regional bodies with regard to initiatives aimed at restoring peace and stability in eastern DRC and in the region. This summit reaffirmed the central role of the peace, security and cooperation framework and its governance mechanism for the coordination and exchange of information in order to ensure peace and security in the Eastern DRC and the region and called for its full implementation by signatories and guarantors. The summit noted with concern the lack of predictable, adequate and sustainable funding for peace initiatives in eastern DRC, and therefore, requests the AU Commission, in coordination with quadripartite members, to mobilize resources for the efficient and effective implementation of the joint framework for coordination and harmonization, as adopted by the quadripartite platform.

The summit welcomed the signing of the grant agreement between the AU and the EAC to facilitate the operations of the EAC regional force and commended the Republics of Angola and Senegal for their financial support to the process of Nairobi led by the EAC. This summit also welcomed the announcement by the Gabonese Republic of a financial contribution to peace efforts in eastern DRC, and called on other AU member States to voluntarily contribute funding to peace processes in Africa. This summit also commended the commendable efforts deployed by the armed forces of the DRC (FARDC), the EAC regional force and the United Nations Organization stabilization mission in the Democratic Republic of Congo (MONUSCO) towards to eradicate all negative forces operating in the region, the statement continued.

The same announcement reveals that the quadripartite summit finally expressed its gratitude to the Republic of Angola, through H.E. João Manuel Gonçalves Lourenço, President of the Republic of Angola, for successfully hosting the first quadripartite summit and decided to institutionalize the quadripartite summit as a high-level coordination, harmonization and consultation platform on the situation in eastern DRC, and looks forward to the holding of the second quadripartite summit and welcomed the offer of the Republic of Burundi to host the second quadripartite summit in Bujumbura (Burundi).

John Rambo is released from prison by the government for a top-secret covert mission to the last place on Earth he'd want to return—the jungles of Vietnam.

The Indonesian players sang the national anthem "Indonesia Raya" before their match against Iraq in the third place playoff of the U-23 Asia Cup at Abdullah bin Khalifa Stadium in Doha, Qatar, on Thursday (2/5/2024).

JAKARTA, KOMPAS — The soccer team Indonesia U-23 drew 1-1 in the first half against Iraq at the Abdullah bin Khalifa Stadium , Doha, Qatar, in the match for third place U-23 Asian Cup, Thursday (2/5/2024) evening WIB. Ivar Jenner's goal put Indonesia ahead first. However, Indonesia lost control of the game so Iraq was able to equalize through Zaid Tahseen.

After losing some of their strength with a 0-2 defeat against Uzbekistan in the semifinals, Indonesia can bring back a number of key players such as Rafael Struick and Ivar Jenner. They immediately earn trust to play from the start.

Also read: Shin Tae-yong's “Siege Mentality”

Coach Shin Tae-yong applied a 3-4-3 formation with Jeam Kelly Sroyer, Struick, and Witan Sulaeman being the main focus in the front line. Meanwhile, Ivar was tasked to maintain balance in the midfield. He was flanked by three other midfielders, namely Marselino Ferdinan, Pratama Arhan, and Ilham Rio Fahmi.

The gap left in the back line of Indonesia by captain Rizky Ridho was resolved by Shin by shifting the position of Nathan Tjoe-A-On from midfielder to center back. Nathan was assisted by Justin Hubner and Muhammad Ferarri in guarding the back line of "Garuda Muda".

Iraqi player, Zaid Tahseen (right/4), and Indonesian player, Witan Sulaeman (left/8), are competing for the ball during the third-place match of the U-23 Asia Cup at Abdullah bin Khalifa Stadium in Doha on Thursday (May 2nd, 2024).

The return of Struick and Ivar has had a positive impact on Indonesia. The process of building attacks (build up) from the back line has become a characteristic of Indonesia during this tournament. Struick, who moved very dynamically, was able to open up space for his colleagues to enter from the second line.

In addition, Kelly Sroyer also deserves appreciation for her tireless effort in running to retrieve and hold the ball. Kelly Sroyer often goes down far to the defensive line to assist the defense and retrieve the ball.

Also read: Indonesian Supporters' Enthusiasm Remains Great, Ticket Rates for Iraq are Decreasing

Just output the translated article, don't add anything else.

Iraq was able to equalize in the 27th minute through Zaid Tahseen's header, taking advantage of a corner kick momentum. Poor coordination between goalkeeper Ernando Ari and his teammates allowed Tahseen to easily head the ball.

Indonesian player, Witan Sulaeman (left/8), vies for the ball with Iraqi player, Ahmed Maknazi, during the third place match of the U-23 Asia Cup at Abdullah bin Khalifa Stadium in Doha, Thursday (2/5/2024).

After scoring the equalizer, Iraq increased the intensity of their attacks by exploiting the late closing of the wings by two Indonesian defenders, Arhan and Rio Fahmi. Both of them often join the attacks and have a slight delay in transitioning. Iraq often released crosses, relying on their tall players' posture, but this tactic can still be countered by Ernando.

Also read: Turn off Ali Jassim, Indonesia's chance of winning over Iraq increases

The "Garuda Muda" team lost control of the game towards the end of the first half. Their efforts to build attacks from the back were progressing smoothly. However, as soon as they entered Iraq's defensive third, the combination of one-two touches between players that was often seen at the beginning of the first half slowly faded away.

Poor communication and inadequate positioning often cause Indonesia's offensive efforts to fail. Until the end of the first half, the score remained 1-1 for both teams.

TRIBUNPAPUABARAT.COM - La Liga Spanyol Musim 2022-2023 telah mulai bergulir, Sabtu (13/8/2022) dini hari.

Lalu, nonton Liga Spanyol dimana?

La Liga Spanyol musim ini dapat disaksikan melalui Streaming TV Online, BeIN Sports.

Di Indonesia, Liga Spanyol dapat diakses melalui beberapa kanal BeIN Sports 1 dan 3.

Baca juga: Barcelona vs Rayo Vallecano - Jadwal & Pemegang Hak Siar Liga Spanyol 2022/2023, HtoH Momok Barca

Kanal itu tersedia di Vidio Premier, MNC Vision, IndiHome, K-Vision, MNC Play, dan TransVision.

Namun, untuk mengakses layanan live streaming Liga Spanyol di BeIN Sports, ada beberapa pilihan paket yang dapat dipilih.

Kamu dapat mengakses di link berikut.

Berikut Jadwal Laliga 2022/2023 Pekan 1

Baca juga: Almeria vs Real Madrid 2022 Live di TV Mana? Streaming & Hak Siar Liga Spanyol, H2H Real Fantastis

Pukul 22.00 WIB/00.00 WIT

Celta Vigo vs Espanyol

14.08.2022Pukul 00.00 WIB/02.00 WIT

Valladolid vs Villarreal

14.08.2022Pukul 02.00 WIB/04.00 WIT

Lagu Warna Pilihan Pororo

Anda mungkin ingin melihat